Apakah yang ditunggu-tunggu kebanyakan orang di Jepang saat musim dingin yang beku berangsur menghangat? Bisa jadi jawabannya adalah SAKURA! Negeri empat musim yang kerap dijuluki “Negeri Sakura” ini memang akan menampakkan kecantikannya saat kuncup-kuncup bunga sakura mulai mekar. Sakura yang mekar juga sebagai pertanda bahwa musim semi telah tiba. Cuaca yang menghangat dan bunga-bunga bermekaran memberikan spirit tersendiri bagi orang Jepang. Mungkin itu salah satu alasan juga mengapa tahun anggaran dan kalender akademik dimulai pada bulan April, saat musim semi datang. Musim semi, musim yang mencerahkan dan penuh semangat, waktunya bangkit dari balutan selimut musim dingin.
Shidare zakura (dropping cherry tree) berusia ratusan tahun di Maruyama Koen, Kyoto
Jepang memiliki tradisi khusus untuk menikmati mekarnya bunga-bunga di awal musim semi, yang dikenal dengan istilah “hanami” (花見), berasal dari kata “hana=花” yang berarti bunga, dan “mi=見” yang berarti melihat. Bunga yang dimaksud di sini adalah bunga sakura dan ume. Tradisi hanami sendiri telah dikenal sejak abad 7, tepatnya saat pemerintahan Zaman Nara. Pada awalnya tradisi ini hanya terbatas untuk kalangan bangsawan saja. Berlanjut ke Zaman Heian, hingga akhirnya diperbolehkan untuk kalangan samurai dan khalayak umum sejak Zaman Edo. Tokugawa Yoshimune adalah tokoh yang terkenal dengan usahanya untuk menanam banyak pohon sakura di masa itu.
Muda-mudi Jepang pun sangat antusias ikut hanami, ada yang berpakaian tradisional yukata
Kini, hanami menjadi tradisi yang ditunggu-tunggu dan tidak akan dilewatkan oleh masyarakat Jepang. Mereka akan berbondong-bondong pergi ke taman-taman yang dipenuhi oleh pohon sakura. Masa mekar bunga sakura sangat terbatas, hanya sekitar sepuluh hari saja. Tak heran, orang akan mengamati dengan cermat jadwal mekarnya sakura. Jepang yang merupakan negara kepulauan membentang dari utara ke selatan, memungkinkan untuk memiliki musim sakura sejak pertengahan Januari dimulai dari bagian paling selatan yakni Okinawa, sampai sekitar akhir Mei di bagian paling utara yakni Hokaido. Perkiraan cuaca yang disiarkan di televisi bahkan akan memberikan perkiraan jadwal mekarnya bunga sakura ini di masing-masing wilayah.
Menikmati makanan di restoran terbuka di bawah naungan bunga sakura menjadi salah satu pilihan menarik
Ada yang menarik dari hanami, yang ternyata bukan hanya sekedar kegiatan melihat bunga sakura. Tradisi ini menjadi unik karena hanami telah berkembang menjadi kebiasaan untuk pesta di bawah pohon sakura. Biasanya orang-orang akan datang secara berombongan, menggelar semacam plastik atau tikar dan berpesta di situ, antara lain minum sake dan makan-makan. Mereka bisa saja datang membawa bento (bekal) dari rumah, tapi bagi yang tidak membawa makanan, di sana tersedia warung-warung tenda yang menyediakan berbagai macam makanan seperti takoyaki, yakisoba, udon, yakitori, ayam goreng, sosis tusuk, berbagai cemilan manis, bahkan sampai mainan anak-anak. Suasananya sungguh meriah, apalagi saat musim sakura mencapai puncaknya. Bisa dipastikan taman-taman akan penuh dengan orang-orang yang datang untuk hanami. Pesta hanami ini tidak hanya dilakukan pada siang hari, namun juga malam hari, atau biasa disebut dengan “yozakura”. Banyak taman-taman yang menyelenggarakan light up pada musim sakura.
Berpesta bersama kolega di atas gelaran tikar di bawah pohon sakura
Yang tak kalah menariknya adalah beberapa fakta yang ada di balik hanami, di antaranya adalah trik-trik untuk mendapatkan lokasi hanami. Biasanya, untuk rombongan besar akan memburu tempat yang strategis untuk digelari tikar. Biasanya dari sejak malam sebelumnya ada yang ditugasi khusus untuk mencari lokasi yang strategis, kemudian menggelar tikar di situ dan menunggu hingga esok pagi. Kalau tidak, bisa-bisa direbut oleh rombongan lain. Namun ada juga yang tidak memperbolehkan pola seperti itu, karena sangat rawan perkelahian. Adalah Maruyama Koen, taman paling ramai di Kyoto saat musim sakura, sudah sejak lama dikuasai oleh jaringan yakuza (organisasi tradisional preman di Jepang sejak pertengahan Zaman Edo). Untuk memperoleh jatah tempat, tinggal mengontak jaringan yakuza, dan membayar seharga 700 yen untuk tempat seluas 1 tatami (kira-kira 1×2 meter). Harga ini sudah termasuk sewa alas (terpal) dan tikar bekas tatami. Bayangkan saja kalau satu rombongan memerlukan luasan tempat setidaknya 30 tatami, berarti harus siap-siap uang 21.000 yen alias Rp 2.100.000 saja :-)
Mahal? ya, tentu saja. Tapi tak perlu kuatir. Kalau sekedar hanami sendiri atau dengan beberapa orang saja, bisa memilih tempat-tempat yang tak perlu membayar :-)
Source : ppi-kyoto.org
Comments (0)
Posting Komentar